Memberi mungkin menjadi sebuah kata yang tak asing bagiku. Tapi manakala aku dihadapkan pada keadaan dimana aku harus melakukannya, seringkali aku membuang-buang waktu untuk berfikir, aku seringkali diselimuti oleh keraguan dan ketakutan. "Wah, kalau aku memberi, nanti aku yang jadi rugi, atau kalau aku memberi, nanti aku jadi tidak kenyang, kalau aku memberi, nanti waktuku yang berharga jadi terbuang" dan beribu kekhawatiran yang lain mengalir di benakku. Benarkah yang kulakukan, saat ku berfikir rasional memang benar apa yang ku lakukan, saat aku punya uang 10.000 kemudian ku berikan kepada adikku 5.000, maka sisanya pasti 5.000 atau saat ku punya 10 buah permen kemudian ku berikan kepada teman-temanku 3 buah, sisanya memang pasti 7. Yah, beruntung aku masih ingat pelajaran matematika saat di SD.
Setelah aku mulai beranjak dewasa,aku sadar ternyata hukum-hukum yang ku pelajari pada pelajaran matematika tidak selalu benar. Ayahku pernah cerita bahwa sewaktu dia kecil, saat dia masih hidup di desa, ada sebuah sumur di depan rumahnya yang setiap hari airnya diambil oleh hampir seluruh warga desa. Dan di ada sebuah rumah yang mempunyai sebuah sumur, diamana sumur tersebut hanya diambil oleh penghuninya saja yang berjumlah sekitar 5 orang. Ayahku berfikir bahwa pasti air sumur yang berada di depan rumahnya akan habis karena diambil oleh banyak orang. Sedangkan sumur yang hanya dimiliki oleh satu keluarga airnya pasti akan lama habisnya karena diambilnya sedikit. Namun suatu keanehan terjadi, saat musim kemarau tiba, sumur didepan rumah ayahku yang airnya banyak diambil oleh warga tidak menjadi kering, malah airnya jadi tambah banyak. Sebaliknya, sumur yang sedikit diambil airnya malah menjadi kering dan hampir tidak menghasilkan air. Dari kejadian itu ayahku mulai berfikir, kenapa perkiraannya bisa salah. Setelah ia menginjak SMA, pada pelajaran geografi, ayahku akhirnya tahu bahwa ketika sumur airnya terus menerus diambil, maka hal itu akan meimbulkan tekanan ke dalam tanah sehingga memunculkan lubang dan sumber air yang baru pada sumur tersebut. Maka nya, tidak aneh kalau saat kemarau tiba, sumur yang diambil airnya oleh banyak orang tersebut tidak habis dan malah bertambah airnya.
Dari situ aku mengambil sebuah hikmah bahwa pada dasarnya memberi tidak membuat apa yang kita miliki berkurang, melainkan bertambah. Dan aku yakin sudah banyak hal yang terjadi pada kita yang membuktikan hal ini. Terlebih setelah aku masuk pesantren dan mendapatkan pelajaran agama yang intensif, aku jadi tahu bahwa perumpamaan orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebuah biji yang menumbuhkan 7 tangkai dan pada tiap-tiap tangkai tersebut ada 100 biji lagi. Apalagi menurut Pak Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah bahwa 7 nya Allah itu bukan angka diatas 6 dibawah 8, melainkan berarti banyak. Berarti bayangkan betapa banyaknya ganjaran yang Allah berikan kepadaku manakala aku menginfakkan hartaku di jalanNya, wuih, pasti banyak banget ya! Lalu aku juga diajarkan tentang Surat Ali-Imran ayat 134, yang kalau gak salah bunyinya kayak gini : Alladziina yunfiquuana fis sarraai wad dlarraai ... al ayah. Ada yang menarik di sini, kalau di ayat-ayat lain kita menemukan setelah kata yunfiquuna biasanya ada aful bih nya. Misalnya yunfuquuna amwaalahum. Tapi di ayat ini gak ada lho, ok lah aku artikan dulu, Yaitu orang-orang yang menginfakkan baik ketika lapang maupun ketika lapang dst. Ayat ini menerangkan tentang ciri-ciri orang yang bertakwa. Setelah aku tanyakan, ternyata dalam kaidah bahasa arab, jikalau ada fiil mutaadi yang tidak ada maful bih nya, maka maful bih nya dianggap umum. Dari sini aku dapat pelajaran lagi, bahwa yang namanya memberi tuh gak hanya harta, tapi apapun kebaikan adalah sodaqoh. Tenaga, ilmu, bahkan senyum pun adalah sodaqoh. Dan berdasarkan ayat tadi, aku bisa memberi tidak hanya dalam keadaan lapang atau banyak uang, tapi saat sempit atau gak punya uang pun aku dapat memberi kepada orang lain.
Terakhir ni ya! aku juga udah cape nih ngetik terus, ada hal yang aku gak boleh lupa dalam memberi adalah keikhlasan. Setelah aku berfikir dan membaca berbagai referensi, bahwa ikhlas tuh kayak bom nuklir lho. Ok lah, bayangkan sebuah dinamit yang ukuran besar, mungkin saat diledakkan hanya radius ratusan meter yang terkena efek ledakannya. Tapi bom nuklir yang hanya terbentuk dari reaksi fusi, yang bahkan kita tidak dapat melihat partikel nuklir tersebut dengan mata telanjang, daya ledaknya bisa ratusan kilometer. Begitupun kalau berharap memperoleh sesuatu yang besar dari memberi, mungkin aku hanya bisa seperti dinamit tadi. Tapi tatkala ku mengecilkan keinginan untuk mendapat balasan bahkan meniadakannya, maka mungkin balasan yang ku terima bisa seperti ledakan bom nuklir tadi. Dan ada juga nih sebuah tumus matematika bahwa bilangan apapun apabila di bagi nol maka hasilnya tidak terdefinisikan atau infiniti. Seperti itu juga keikhlasan, aku harus berusaha mengnolkan keinginan mendapat balasan.
Mungkin segini aja lah curhatku
Hanya sekedar curhat kok, aku tak bermaksud menggurui karena yang membaca Insya Allah lebih baik dan lebih banyak ilmunya daripada yang menulis