Senin, 30 Juni 2008

Menyongsong Gerbang Kedewasaan

Akhirnya, begitulah kata yang terucap dari bibirku tatkala kusadari bahwa sekarang aku bukan anak MTs. lagi. Sekarang aku bersiap memasuki sebuah dunia baru yang katanya sih berbeda dengan yang selama ini aku alami. Aku tidak tahu akan terjadi apa nanti, tapi aku sudah siap menyongsong hari-hari yang akan menyapaku nantinya. Di Madrasah Aliyah Darul Arqam, akan ku mulai lagi membangun masa depan. Dan aku akan menjadi lebih dewasa lagi dalam megisi hari-hariku.

Dewasa, sebenarnya bagaimana sih kedewasaan itu ? Aku yakin setiap orang memaknainya berbeda-beda. Tapi menurutku, secara sederhana dewasa berarti seseorang telah mengerti dan siap bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya. Bisa saja secara jasmani seseorang sudah dewasa, tapi belum tentu secara rohani, dan begitupun sebaliknya, ada yang secara rohani sudah dewasa, tapi secara jasmani belum. Idealnya, seseorang harus memiliki kedua-duanya.

Di Indonesia, dewasa masih cukup abstrak untuk digambarkan, tidak ada batasan yang jelas tentang bagaimana seharusnya seseorang menjadi dewasa. Ada hal yang menarik mengenai kedewasaannya Nelson Mandela.Jika kita baca autobiografinya, maka kita akan tahu bahwa seorang yang telah menumbangkan rezim apartheid di Afrika ini menempuh sebuah ritual untuk menjadi dewasa. Kurang lebih ketika usianya 16 tahun, dia yang hidup di suku Xhoza wajib menempuh ritual yang membuat dia dianggap dewasa. Pelaksanaan ritual itu ialah dengan disunat atau dalam islam dikhitan. Walaupun aku tak bisa menjelaskan lebih jauh prosesi ritual tersebut, tapi setelah menjalaninya, Nelson Mandela merasa dirinya telah dewasa sehingga berusaha untuk senantiasa bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Ritual kedewasaan juga dikenal dalam agama Yahudi, yang dikenal dengan upacara Barmitzvah.

Aku bukan menganjurkan kita melakukan ritual-ritual seperti itu dalam menjadi dewasa, tapi aku merasa bahwa peradaban modern sekarang yang dimotori oleh barat telah memperlambat proses pendewasaan kita. Di dalam Islam contohnya, kita mengenal bahwa setelah seorang anak mencapai baligh maka dia seharusnya telah dewasa. Tidak ada yang namanya masa transisi dalam proses dewasa. Lebih jelasnya, setelah seorang anak mencapai usia baligh, maka sudah seharusnya dia diajarkan untuk menjadi dewasa. Tapi entah kenapa di abad dua puluh ini lahirlah seorang "anak haram" yang bernama masa remaja. Yang katanya di masa inilah kita mencari jati diri, atau emosi kita tidak stabil, sehingga itu menjadi alasan bahwa remaja itu memang seharusnya liar atau nakal. Menurut seourang pengamat remaja Alwi Alatas bahwa istilah remaja memang tidak ditemukan pada abad-abad pertengahan maupun awal. Tapi istilah remaja mulai ada sejak awal abad 20-an. Dan hal itu dimanfaatkan oleh orang-orang berpaham materialis untuk menyebarkan fahamnya yang sasaran empuknya adalah para remaja. Kita diajarkan pakaian-pakaian yang jauh dari standar kesopanan, kita juga diajarkan budaya-budaya barat yang tidak sepenuhnya positif, sehingga banyak diantara manusia-manusia yang kehilangan waktunya yang berharga hanya karena terjebak dalam kesenangan semu pada masa remaja. Mungkin jika kalian ingin lebih tahu mengenai masalah ini, silahkan baca buku "Remaja Gaul gak Mesti Ngawur" karya Alwi Alatas.

Yah, sekarang aku masih menikmati liburan nih, doain ya semoga aku bisa mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat.

Tidak ada komentar: