Jumat, 01 Agustus 2008

Mana yang Lebih Dulu, Fiqih, atau Ushul Fiqih?

Ada sebuah pengalaman yang menarik tatkala mengikuti pelajaran Ushul Fiqh bersama Pak Ayi Yunus. Walaupun dia datang agak terlambat, tapi aku dan teman-teman mendapat sesuatu yang hebat hari itu. Walaupun mungkin menurut kalian hal itu biasa-biasa aja, tapi tidak buat kami. Karena ilmu yang kami dapat merupakan harta yang tak ternilai dengan apapun juga. Setelah masuk dan mengabsen kami semua, Pak Ayi langsung memberi kami sebuah pertanyaan, tentang manakah yang lebih dulu, Fiqih atau Ushul Fiqih. Lalu kami semua dibagi menjadi 4 kelompok yang sesuai dengan jajaran kami masing-masing, Dia menyuruh kami berdiskusi dan mancari jawaban disertai dengan alas an dan bukti mengenai pertanyaan yang beliau ajukan tadi.

Mulailah kami berdiskusi, suasana setengah riuh menghiasi kelas kami, kelas X B atau kelas I MA yang memang sudah menjadi dinamika keseharian kelas kami. Pak Ayi memberitahukan bahwa waktu kami 10 menit untuk menyelesaikan taka-teki tersebut. Saat impuls-impuls listrik dalam neuron-neuron di otak kami mulai aktif, mengantarkan kami semua kepada sebuah kesimpulan. Dengan menggunakan logika berfikir induktif dan deduktif serta dengan men ggunakan premise-premise yang menghasilkan silogisme yang sesuai, kami semua mempunyai sebuah kesimpulan disertai dengan argument-argumen yang menguatkan konklusinya.

Waktu untuk berdiskusi pun telah habis, dan kelompok-kelompok di kelas kami bersiap untuk saling sharing pemikiran mengenai pertanyaan yang diajukan Pak Ayi tadi. Kemudian Pak Ayi meminta yang sudah siap diantara kami untuk maju kedepan dan mempresentasikan hasil diskusi. Lalu ternyata yang maju adalah Abay, salah seorang temanku yang juga pintar memainkan gitar mengacungkan tangannya dengan semangat pertanda sudah siap tuk tampil di depan kami santri-santri kelas X B.

Dimulai dengan ucapan salam yang lengkap yang katanya bakal dapat pahala 30 dari Allah, Abay memulai presentasinya. Dan aku dapat mengerti bahwa dia berkesimpulan Fiqih lebih dulu daripada Ushul Fiqih. Dia beralasan bahwa waktu dulu Nabi dan dan Sahabat-sahabatnya sudah mempraktekan seperti sholat, zakat, dan yang lain sebagainya yang notabenenya adalah bagian dari ilmu fiqih. Sedangkan kaidah-kaidah Ushul Fiqih baru ditemukan beberapa abad setaelah wafatnya Rasul oleh para ulama Islam. Setelah Abay, Sahl pun maju kedepan yang ternyata pendapatnya bertolak belakang dengan kelompoknya Abay. Dia menganggap bahwa Ushul Fiqih lebih dulu ada daripada Fiqih. Hal ini dikarenakan bahwa sebagaimana tertera dalam buku bahwa Ushul fiqih itu bagaikan akar atau dasar dari sebuah pohon. Maka dari itu, gak mungkin ada fiqih kalau gak ada Ushul Fiqihnya dulu. Setelah Sahl, giliran Irham yang maju ke depan untuk mengutarakan pendapatnya. Dan mungkin Fiqih sedang menjadi bintang pada saat itu, sehingga Irham pun membuat kesimpulan bahwa Fiqih lah yang lebih dahulu muncul daripada Ushul Fiqih. Hal itu dikarenakan bahwa Ushul fiqih itu hanya untuk menyempurnakan ilmu fiqih yang sudah ada sebelumnya. Akhirnya, tibalah giliranku untuk maju ke depan dan mengutarakan hasil diskusiku dan teman-teman mengenai permasalahan ini. Dan ternyata skor menjadi 3-1, aku juga mengambil kesimpulan bahwa ilmu fiqih lebih dahulu muncul daripada Ushul Fiqih. Aku menganalogikan dangan bahasa Arab dan ilmu Nahwu. Kita tahu bahwa bahasa Arab telah ada dari zaman dahulu sebagai alat komunikasi. Tapi kita tahu bahwa ilmu nahwu muncul sekitar beberapa abad yang lalu. Dan hal itupun berlaku juga terhadap fiqih dan ushul fiqih, kataku.

Setelah presentasi tersebut, pak Ayi mempersilahkan kita semua untuk saling beradu argument dan berdiskusi untuk mencapai jawaban yang sebenarnya dari permasalahan ini. Kasihan, kelompoknya Sahl harus berjuang melawan 3 kelompok lainnya yang menyimpulkan bahwa fiqh lebih dulu daripada Ushul Fiqh. Lalu Pak Ayi sebagai moderator membantu menjelaskan maksud kelompok Sahl yang menganalogikan Ushul Fiqih sebagai akar dari sebuah pohon yang batanganya itu adalah fiqih. Sehingga tidak mungkin akan tumbuh batang kalau akarnya pun tidak ada. Tapi tanpa disangka-sangka Faisal dari kelompoknya Abay memberikan argument untuk menyanggah argument kelompoknya Sahl. Dia beranalogi dengan sebuah pohon singkong, yang ditanam dulu batangnya baru tumbuh akarnya. Begitupun permasalahan yang kita bahas sekarang katanya, jadi kalau kita ibaratkan fiqih sebagai batang dan ushul fiqih sebagai akar, logis kalau fiqih dulu baru ushul fiqih yang timbul kemudian. Suasana menjadi semakin menarik tatkala teman-temanku dari kelompok lain juga ikut berkomentar dengan argumen-argumen andalan mereka. Kelompok Sahl terlihat keok saat itu, bayangin aja, satu lawan tiga lho!

Dan akhirnya, Pak Ayi pun menghentikan diskusi yang kami semua lakukan lalu menjelaskan jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan tadi. Dia menjelaskan bahwa secara amali atau pengamalan, ilmu fiqih dan ushul fiqih itu mencul secara bersamaan. Gini deh, waktu dulu Rasulullah SAW pernah melarang umatnya untuk memakan daging babi menurut perintah Allah SWT. Pada saat itu, timbullah hukum bahwa daging babi itu haram, dan itu adalah fiqih. Dan Rasulullah pun tanpa sadar menggunakan kaidah ushul fiqih bahwa yang membahayakan kesehatan itu bisa diharamkan. Tapi zaman Rasul belum ada ilmu fiqih dan ushul fiqih, sehingga Rasul menggunakan ilmu-ilmu tersebut tanpa sadar.Baru pada abad-abad selanjutnya para ulama lah yang mengadakan ilmu fiqih dan ushul fiqih. Baru secara ilmu memang fiqih yang lebih dahulu ada, karena ushul fiqih itu sendiri gunanya untuk membuat ilmu fiqih lebih dinamis dan jelas. Pak Ayi juga memberitahu kami tentang filsafat ilmu yang belum kami mengerti. Dia bilang bahwa syarat sesuatu dikatakan sebagai suatu ilmu itu harus memenuhi 3 hal yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Udah ah aku gak akan memahsa itu lebih dalam, nanti aja kalau udah kuliah.

Yah, mungkin tulisan ini adalah seperseribu pengalaman ku di kelas yang memang belum ku tulis. Entahlah, sekarang aku sedang membiasakan diri tuk menulis.


4 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus... bagus benar apa yang dikatakan oleh Pak Ayi, guru anda. Saya setuju... bahwa syarat ilmu harus ada Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

ya sudah....teruslah menulis.
Karena Suara Tulisan bisa lebih keras daripada suara lisan.

Banyak negara maju telah mengembangkan dan meningkatkan budaya tulis-nya daripada mengembangkan budaya lisan.

tapi, budaya lisan juga penting..
yang penting, jangan lupa kedua-duanya, ya.

Yang terakhir, semoga Allah memberkati anda..

salam

mampir ke blog saya.

http://analisis-fiqih.blogspot.com
atau
Klik di sini

Anonim mengatakan...

rekaman proses belajar yang hebat! semoga roby cs bisa belajar lebih semangat dan lebih hebat lagi. yang paling penting, kompak dan menciptakan suasana yang kompetitif di kelas.
roby juga hebat, punya blog. bisa mengasah kreativitas.

salam buat teman2,
www.punayi.wordpress.com

AnsaTa mengatakan...

mantap... saya senyum-senyu sendiri membaca blog ini.

Ardiva Morlindah mengatakan...

terima kasih sudah berbagi pengalaman nya, alhamdulillahh saya dapat menebukan ilmu didalam tulian kmu diatas:)

semangat terus unruk menulis nyaa yah..ma'annajah,wajazakilahhh khoirot")

_AmT